Mempelajari Bahasa Penjajah

10 03 2007

Judul   :  Kamus Belanda-Indonesia
Penyusun :  Susi Moeimam, Hein Steinhauer
Penerbit :  PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta dan KITLV-Jakarta
Tebal  :  xlvii + 1263 halaman
Akhirnya sebuah kamus Belanda-Indonesia ‘istimewa’ terbit juga. Disebut ‘istimewa’ karena salah satu penyusunnya adalah seorang Indonesia, ahli bahasa Belanda. Susi Moeimam, penyusun Kamus Belanda-Indonesia ini adalah doktor pertama bagi Program Studi Belanda, Universitas Indonesia yang mempertahankan disertasinya Van lexicologische modelvorming naar lexicografische praktijk: een concept voor een receptief Nederlandsch-Indonesisch woordenboek pada 1994 di Universiteit Leiden.
 Bersama Hein Steinhauer, dosen di Universiteit Leiden, guru besar IIAS dan Universitas Radboud Nijmegen, Susi Moeimam menggarap kamus ini yang merupakan proyek kerjasama banyak pihak. Tercatat lembaga-lembaga yang terlibat dalam proyek ini seperti Commisie voor Lexicografische Vertaalvoorzieningen (CLVV) dari Nederlandse Taalunie, Koninklijke Nederlandse Academie van Wetenschappen (KNAW), International Institute for Asian Studies (IIAS), Fakultas Sastra Universitas Leiden, dan tentunya Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
 Hal istimewa lainnya adalah kamus khusus untuk penutur bahasa Indonesia ini melengkapi dan menyempurnakan kamus-kamus Belanda-Indonesia sebelumnya. Seperti kamus ‘legendaris’ karya Woyowasito (Ichtiar Baru-Van Hoeve) yang menjadi kamus pegangan bagi mereka yang mempelajari bahasa Belanda, terutama para mahasiswa fakultas hukum. Di samping itu kamus ini juga merupakan kamus komprehensif pertama sejak tahun 1985.
 Menyusun sebuah kamus bukanlah pekerjaan sederhana karena dibutuhkan ketelitian dan ketekunan yang luar biasa. Penyusunan kamus ini pun berlangsung dari bulan November 1997 hingga Desember 2002. Di samping itu Kamus Belanda-Indonesia ini sebenarnya merupakan salah satu hasil proyek kerjasama antara lembaga-lembaga yang disebutkan di atas. Hasil lain dari proyek tersebut adalah Nederlands-Indonesisch woordenboek, kamus Belanda-Indonesia versi Belanda  terbitan KITLV Uitgeverij, Leiden tahun 2004 yang ditujukan khusus bagi penutur bahasa Belanda.
 Jumlah entri kamus ini mendekati 50.000 kata yang diseleksi berdasarkan frekuensi pemakaian bahasa secara umum. Dilengkapi pula dengan jumlah makna yang dibedakan melebihi 60.000 kata serta lebih 55.000 contoh pemakaian, ungkapan, dan idiom. Selain itu dijabarkan pula panduan pemakaian (hal. xv), ringkasan tatabahasa Belanda (hal. xix), dan lampiran daftar verba bentuk ketiga (partisipum perfektum) yang tidak teratur (xlv). Semua itu memudahkan para pemakai kamus ini sehingga dapat memanfaatkannya secara maksimal.
 Mempelajari bahasa Belanda saat ini memang bukanlah suatu keharusan seperti puluhan tahun yang lampau, di zaman kakek-nenek kita, terutama dari kalangan priyayi. Bahkan kalaupun kita akan mempelajarinya, maka sekarang kita dianggap aneh. Biasanya dikomentari:“Bahasa penjajah kok dipelajari!”. Walaupun sebenarnya pendapat itu tidak sepenuhnya tepat. Buktinya, banyak remaja atau anak muda yang mempelajari bahasa ini dengan berbagai alasan, terutama untuk studi di negeri Belanda.
Bahasa Belanda sendiri di Nusantara sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Pendeta Francois Valentijn dalam Beschrijvinghe van Batavia (1726) menyebutkan bahasa umum yang dipakai di Batavia adalah bahasa Portugis, Melayu-Rendah (pasar) dan Belanda. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa bahasa Belanda ini tidak pernah menjadi bahasa resmi seperti bahasa Inggris di Malaysia dan India. Kees Groeneboer dalam disertasinya Weg tot het Westen,Het Nederlands voor Indië 1600-1950:Een taalpolitieke geschiedenis (Jalan ke Barat, Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600-1950: Sejarah politik bahasa) ,menjelaskan pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sekitar abad ke-17 memang telah dicoba agar bahasa Belanda memainkan peranan penting. Namun, lantaran ketidakkonsistenan mereka, maka cita-cita itu tak terlaksana. Bahkan dapat dikatakan gagal total.
Bubarnya VOC pada akhir abad ke-18 (1799) bersamaan dengan gagalnya politik bahasa yang berhubungan dengan bahasa Belanda. Peristiwa-peristiwa di Eropa yang dengan cepat silih berganti pada abad ke-19 memiliki konsekuensi bagi Hindia Belanda. Di Hindia Belanda pun sempat berganti penguasa. Pada Juni 1810 Hindia Belanda pernah menjadi koloni Prancis lalu mulai Agustus 1811 hingga 1816 menjadi koloni Inggris. Selanjutnya Hindia Belanda kembali menjadi koloni kerajaan Belanda mulai 1816. Namun, pendidikan berbahasa Belanda pada awal abad ke-19 ini seluruhnya diserahkan kepada pihak swasta. Campur tangan pemerintah pada pendidikan pun terbatas untuk kelompok penduduk Eropa. Kelompok pribumi yang hendak mempelajari bahasa Belanda hanya dapat dilakukan di rumah dan E.L.S (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar yang izin masuknya sangat terbatas. Tercatat pada abad ke-19 para pribumi yang mempergunakan bahasa Belanda dalam tulisan seperti bupati Demak R.M Adipati Ario Hadi Ningrat, paman dari R.M. Pandji Sosro Kartono dan R.A Kartini serta seorang calon dokter J.E. Tehupeiory.
Menjelang abad ke-20, bahasa Belanda sebagai ‘pintu gerbang menuju Barat’ mendapat arti ‘etis’. Maksud ‘etis’ di sini – menurut M.S Koster seorang ahli hukum di OSVIA Bandung –negeri Belanda tidak boleh lagi menganggap dirinya sebagai tuan dan majikan, tetapi harus bertindak sebagai wali dari penduduk pribumi.
Sementara itu para Founding Father Indonesia yang sempat mencicipi pendidikan Belanda memiliki pengalaman-pengalaman unik dengan bahasa Belanda. Seperti H. Agus Salim yang menguasai banyak bahasa. Ia mendidik sendiri anak-anaknya dalam bahasa Belanda yang juga dijadikan bahasa sehari-hari keluarganya.
 Atau Bung Karno yang ketika sambil bersepeda berkencan dengan seorang noni Belanda tertangkap basah, berpapasan dengan ayahnya. Di rumah, Soekarno muda yang sudah ketakutan setengah mati menunggu omelan dari sang ayah yang tidak suka jika ia berkencan dengan gadis Belanda terkejut ketika dengan tenang ayahnya berkata: “Bagus, No..kamu berteman dengan gadis Belanda itu. Itu baik untuk bahasa Belandamu supaya bahasa Belandamu lebih vlot (lancar)!” Hasilnya Bung Karno pernah berkata mengenai bahasa Belanda ini: “Bahasa itu menjadi bahasa saya berpikir. Bahkan sekarang juga saya dengan secara otomatis mencaci-maki dalam bahasa Belanda. Kalau saya menghadapkan diri kepada Tuhan, saya lakukan dalam bahasa Belanda.”  Ironisnya, pada 1957 Soekarno mengeluarkan pengumuman larangan berbahasa Belanda akibat persoalan Irian Barat (Papua).
Pengalaman unik lainnya adalah dari Bung Hatta di Belanda. Ketika itu ia hendak mendaftarkan diri di Universitas Rotterdam. Kantor pendaftaran belum dibuka ketika ia tiba di sana. Sambil menunggu, Bung Hatta berjalan-jalan di taman di tepi Sungai Maas. Di sana ada sebuah kios kecil yang menjual kue-kue dan minuman. Dengan bahasa Belanda, Bung Hatta memesan segelas susu. Wanita yang menjaga kios itu memuji bahasa Belanda Bung Hatta dan bertanya dimana ia belajar bahasa itu. Bung Hatta memberikan jawaban yang biasa diberikan oleh para pelajar Indonesia di masa itu: “Di kapal yang membawa saya dari Hindia Belanda.”. “Berapa lama perjalanannya?,” tanya wanita itu. “Satu bulan,” jawab Bung Hatta. “Dan kamu dapat berbicara begitu lancar dalam waktu yang singkat?” tanya wanita itu tak percaya. “Tentu saja, kamu bisa karena di sana (Hindia Belanda) ada banyak bahasa. Kalau tidak salah ada 36 bahasa. Betul begitu? Tentunya tidak sulit untuk belajar satu bahasa lagi, ya?,” sambung wanita itu lagi.
Hal lain yang berhubungan dengan bahasa Belanda adalah untuk menunjukkan modernitas seperti yang terdapat dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco. Novel ini berbahasa Melayu dan dibukukan pada 1919. Dalam novel itu bertaburan kata-kata bahasa Belanda yang menunjukkan kemodernan pada masa itu seperti plesir yang diambil dari kata plezier , heerlijk (menyenangkan), dag, papa, mama, nee, toch, lieve, zus.
Bahasa Belanda memang akhirnya tak bisa menjadi bahasa resmi bahkan persatuan di Nusantara. Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) pada awalnya memang setuju bahwa bahasa Belanda diperlukan pada zaman peralihan sebagai gerbang ke peradaban Barat tetapi : “Bahasa Belanda tidak akan mungkin menjadi bahasa persatuan, karena sama dengan bahasa Jawa, bahasa Belanda merupakan bahasa yang sukar. Terutama karena bahasa Belanda memang benar-benar ‘bahasa asing’. Adapun ciri khas bahasa asing adalah susunan kalimat yang asing, ungkapan-ungkapannya yang khas dan tidak bersifat Hindia Belanda serta cara penyampaian, peribahasa yang hampir semuanya dari adat kebiasaan orang Belanda yang asing bagi kami”.
 Mempelajari bahasa asing apalagi bahasa bangsa yang pernah ‘menjajah’ memang tidak mudah. Namun, setidak-tidaknya dengan memiliki kamus Belanda-Indonesia ini, kita dimudahkan dalam mempelajarinya. Kamus ini sangat diperlukan bagi para penerjemah, sejarawan, ahli hukum, antropolog, Islamolog, filolog dan semua yang berhubungan bahasa Belanda karena di masa mendatang tampaknya bahasa ini masih perlu dipelajari meski bukan lagi keharusan.


Aksi

Information

Satu tanggapan

13 08 2009
Yuni Lampung

hebat, luar biasa. two thumbs up untuk Ibu Susi. Hari ini pun saya sedang berada di kelas beliau untuk penataran leksikografi. Semoga kami bisa mengikuti jejak ibu untuk memajukan Indonesia melalui bahasa!

Tinggalkan komentar